Kemauan untuk Berubah Menjadi Lebih Baik
Dalam beberapa hari ini, aku hidup bersama beberapa kawan yang sedang dalam status
tahanan luar. Mereka ditolong oleh seorang konfraterku melalui jaminan atas namanya, sehingga mereka dapat memperoleh keringanan
hukuman dan bisa tinggal di komunitas kami untuk jangka waktu tertentu sesuai ketentuan hukuman percobaan. Aku berbincang-bincang
dan hidup setiap hari dengan mereka, makan dan minum bersama setiap hari, sambil mendengarkan begitu banyak ceritera dalam
hidup mereka.
Aku mendengarkan langsung tekad mereka untuk berubah dan memperbaiki hidup untuk
menjadi lebih baik. Juga aku bisa ikut merasakan betapa sulitnya bagi mereka untuk bisa berubah dan bertobat ketika stigma-stigma
social dan diri sendiri mulai bekerja, ketika masyarakat memandang sinis, curiga, dan dengan pandangan negative mereka dicibir,
dsb. Tidak jarang, umat memperingatkanku saat ngomong-ngomong selepas misa harian, agar aku hati-hati terhadap risiko bergaul
dengan mereka. Sementara dari diri sendiri, stigma muncul akibat perasaan-perasaan bersalah di masa lalu yang terpendam amat
kuat yang tidak jarang mendera mereka. Ada ketakutan dari seorang kawan, bahwa dia tidak mungkin kembali ke Negara asalnya
(dia seorang imigran gelap di Italia), sebab pasti dia akan berhadapan lagi dengan lingkaran kejahatan masa lalu. Kawan-kawan
atau musuh-musuhnya di masa lalu tidak akan begitu saja melepasnya dari lingkaran mereka.
Yah, aku bisa merasakan, orang-orang yang mau bertobat ini seringkali harus menjalani
proses-proses social maupun pribadi yang tidak mudah serta membutuhkan keinginan kuat. Penyesalan diri yang berkepanjangan
tidak jarang juga menjerumuskan mereka ke dalam kesulitan yang besar.
Ini semua mengingatkanku bagaimana Yesus memberikan penghargaan yang begitu besar
terhadap orang-orang yang mau bertobat ketika masyarakat justru mencampakkan para pendosa, para pemungut cukai, wanita-wanita
pelacur, dsb. Malah Dia makan, bergaul, dan berkunjung ke rumah mereka dan dengan demikian, Dia mau mengampuni dan mengundang
setiap orang berdosa kepada pertobatan melalui kehadiranNya di tengah-tengah mereka. Dengan berani Dia mengatakan, bahwa para
pendosa dan wanita-wanita pelacur akan mendahulu kaum Farisi dan Ahli Taurat untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab, para
pendosa itu membuka hati dan mendengarkan Sabda Allah lalu bertobat, sementara kaum Farisi dan Ahli Taurat memang juga mendengarkan
Sabda Allah, tapi mereka mengeraskan hati dan kepala.
Allah memang mengundang setiap orang untuk bertobat dan hidup secara lebih baik. Dan
untuk itu, memang dibutuhkan keterbukaan untuk melihat Allah yang sedang bekerja dalam hidup. Bila masa lalu memang sudah
sedemikian buruk, diperlukan kepercayaan bahwa Allah masih mampu melihat masih adanya €œsepetak tanah€ di dalam hidup dan hati setiap orang berupa keinginan untuk bertobat; ya, sepetak
tanah kecil di dalam hati yang masih subur dan layak untuk ditanami, di antara ladang kering kerontang akibat masa lalu yang
berat. Dengan sepetak tanah kehendak baik itu, orang yang percaya akan kasih dan pengampunan Allah masih mampu memperbaharui
hidup bila percaya bahwa memang adalah masih mungkin untuk menjadi lebih baik, bahkan yang sepetak itu akhirnya bisa
meluaskan kesuburan, agar hidup semakin berbuah.
Kehadiranku di antara kawan-kawan narapidana berstatus tahanan luar ini membuatku
lebih menghargai apa arti kemauan untuk berubah menjadi lebih baik, dan bagaimana perjuangan itu lebih dihargai oleh Allah
daripada stigma-stigma social atas mereka, yang jelas-jelas merupakan tuntutan manusia yang seringkali justru tidak manusiawi.
Rm. Emanuel Prasetyono, CM
Melfi